Jumat, 02 Juli 2010

TEORI - TEORI DALAM BELAJAR

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK

Teori behavioristik mengatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia telah mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Pandangan behavioristik mengakui pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respons dianggap tidak penting diperhatikan sebab tidak bisa diamati dan diukur. Yang bisa diamati dan diukur hanyalah stimulus dan respons. Penguatan (reinforcement) adalah faktor penting dalam belajar. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respons akan semakin kuat. Demikian juga jika penguatan dikurangi (negative reinforcement) maka respons juga akan menguat. Tokoh-tokoh penting teori behavioristik antara lain Thorndike, Watson, Skiner, Hull dan Guthrie.
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktifitas "mimetic" yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian ke keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada basil, dan evaluasi menuntut sate jawaban benar. Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.

TEORI BELAJAR KOGNITIF

Pengertian belajar menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan dengan balk jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang. Di antara para pakar teori kognitif, paling tidak ada tiga yang terkenal yaitu Piaget, Bruner, dan Ausubel. Menurut Piaget, kegiatan belajar terjadi sesuai dengan pola tahap-tahap perkembangan tertentu dan umur seseorang, serta melalui proses asimilasi, akomodasi dan equilibrasi. Sedangkan Bruner mengatakan bahwa belajar terjadi lebih ditentukan oleh cara seseorang mengatur pesan atau informasi, dan bukan ditentukan oleh umur. Proses belajar akan terjadi melalui tahap ¬tahap enaktif, ikonik, dan simbolik. Sementara itu Ausubel mengatakan bahwa proses belajar terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan pengetahuan baru. Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap memperhatikan stimulus, memahami makna stimulus, menyimpan dan menggunakan infonnasi yang sudah dipahami. Dalam kegiatan pembelajaran, keterlibatan siswa secara aktif amat dipentingkan. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Materi pelajaran disusun dengan menggunaka pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks. Perbedaan in¬dividual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK

Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan, mandiri, bertanggungjawab, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, serta mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan yang mampu melihat kaitan antara ciri-ciri manusia tersebut, dengan praktik-praktik pendidikan dan pembelajaran untuk mewujudkannya. Pandangan konstruktivistik yang mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah kepada tujuan tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal pada diri siswa. Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-guru konstruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan diri manusia/siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, kegiatan pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar terjadi aktivitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.
Karakteristik pembelajaran yang dilakukannya adalah:
1. Membebaskan siswa dari belenggu kunkulum yang berisi fakta ¬fakta lepas yang sudah ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas.
2. Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
3. Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, di mana terdapat bermacam-macam pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi.
4. Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah dikelola.

TEORI BELAJAR HUMANISTIK

Menurut teori humanistik tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri secara optimal. Teori humanistik cenderung bersifat eklektik, maksudnya teori ini dapat memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya tercapai.
Beberapa tokoh penganut aliran humanistik di antaranya adalah;
a. Kolb, dengan konsepnya tentang empat tahap dalam belajar, yaitu; pengalaman konkret, pengalaman aktif dan reflektif, konseptualisasi, dan eksperimentasi aktif.
b. Honey dan Mumford, menggolongkan siswa menjadi 4 yaitu; aktifis, reflektor, teoris, dan pragmatis.
c. Hubermas, membedakan 3 macam atau tipe belajar yaitu; belajar teknis, belajar praktis, dan belajar emansipatoris.
d. Bloom dan Krathwohl, dengan 3 kawasan tujuan belajar yaitu; kognitif, psikomotor, dan afektif.
e. Ausubel, walaupun termasuk juga ke dalam aliran kognitifisme, ia terkenal dengan konsepa belajar bermakna (Meaningful learn¬ing).
Aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong siswa untuk berpikir induktif. Teori ini juga amat mementingkan faktor pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.

TEORI BELAJAR SIBERNETIK

Teori belajar sebernetik merupakan teori belajar yang relatif baru dibandingkan teori-teori belajar lainnya. Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Menurut teori sibernetik belajar adalah pemrosesan informasi. Teori ini lebih mementingkan sistem informasi dari pesan atau materi yang dipelajari. Bagaimana proses belajar akan berlangsung sangat ditentukan oleh sistem informasi dari pesan tersebut. Oleh sebab itu, teori sibernetik berasumsi bahwa tidak ada satu jenispun cara belajar yang ideal untuk segala situasi. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi.
Teori ini telah dikembangkan oleh para penganutnya, antara lain seperti pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada pemrosesan informasi yang dikembangkan oleh Gage dan Berliner, Biehler dan Snowman, Baine, serta Tennyson. Bahwa proses pengolahan informasi dalam ingatan dimulai dari proses penyandian informasi (encoding), diikuti dengan penyimpanan informasi (storage), dan diakhiri dengan mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan (retrieval). Ingatan terdiri dari struktur informasi yang terorganisasi dan proses penelusuran bergerak secara hirarkhis, dari informasi yang paling umum dan inklusif ke informasi yang paling umum dan rinci, sampai informasi yang diinginkan diperoleh.Konsepsi Landa dengan model pendekatannya yang disebut algoritmik dan heuristik mengatakan bahwa belajar algoritmik menuntut siswa untuk berpikir sistematis, tahap demi tahap, linear, menuju pada target tujuan tertentu, sedangkan belajar heuristik menuntut siswa untuk berpikir devergen, menyebar ke beberapa target tujuan sekaligus. Pask dan Scott membagi siswa menjadi tipe menyeluruh atau wholist, dan tipe serial atau serialist. Mereka mengatakan bahwa siswa yang bertipe wholist cenderung mempelajari sesuatu dari yang paling umum menuju ke hal-hal yang lebih khusus, sedangkan siswa dengan tipe serialist dalam berpikir akan menggunakan cara setahap demi setahap atau linear.
Aplikasi teori pengolahan informasi dalam pembelajaran antara lain dirumuskan dalam teori Gagne dan Briggs yang mempreskripsikan adanya 1) kapabilitas belajar, 2) peristiwa pembelajaran, dan 3) pengorganisasian/urutan pembelajaran.

TEORI BELAJAR REVOLUSI-SOSIO-KULTURAL

Timbul keprihatinan terhadap perubahan kehidupan masyarakat dewasa ini dengan maraknya berbagai problem sosial seperti ancaman disintegrasi yang disebabkan oleh fanatisme dan primordialisme, dan di lain pihak adanya tuntutan pluralisme. Perubahan struktur dan lunturnya nilai-nilai kekeluargaan, serta merebaknya kejahatan yang disebabkan oleh lemahnya social capital (modal sosial) mendorong mereka yang bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk mengkaji ulang paradigma pendidikan dan pembelajaran yang menjadi acuan selama ini. Tentu saja pendidikan bukan satu-satunya lembaga yang harus bertanggung jawab untuk mengatasi semua masalah tersebut. Namun pendidikan mempunyai kontribusi besar dalam upaya mengatasi berbagai persoalan sosial.
Aliran behavioristik yang banyak digunakan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran selama ini kurang dapat menjawab masalah-masalah sosial. Pendekatan ini banyak dianut dalam praktik ¬praktik pendidikan dan pembelajaran mulai dari pendidikan tingkat yang paling dini hingga pendidikan tinggi, namun ternyata tidak mampu menjawab masalah-masalah dan tuntutan kehidupan global. Hasil pendidikan tidak mampu menumbuhkembangkan anak-anak untuk lebih menghargai perbedaan dalam konteks sosial budaya yang beragam. Mereka kurang mampu berprkir kreatif, kritis dan produktif, tidak mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan berkolaborasi, serta pengelolaan diri.
Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget yang kemudian berkembang ke dalam aliran konstruktivistik juga masih dirasakan kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kotraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih mencerminkan ideologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan dengan budaya Barat. Pendekatan ini kurang sesuai dengan tuntutan revolusi sosiokultural yang berkembang akhir-akhir ini. Pandangan yang dianggap lebih mampu mengakomodasi tuntutan sociocultural-revolution adalah teori belajar yang dikembangkan oleh Vygotsky. Dikemukakan bahwa peningkatan fungsi-fungsi mental seseorang terutama berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya, dan bukan sekedar dari individu itu sendiri. Teori Vygotsky sebenamya lebih tepat disebut sebagai pendekatan ko-konstruktivisme. Konsep-konsep penting dalam teorinya yaitu genetic law of development, zona of proximal development, dan mediasi, mampu membuktikan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang seturut dengan teori sociogenesis . Dimensi kesadaran sosial bersifat primer sedangkan dimensi individual bersifat sekunder. Berdasarkan teori Vygotsky maka dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proximalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang. Guru perlu menyediakan berbagai jenis dan tingkatan bantuan (helps cognitive scaffolding) yang dapat memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Bantuan dapat dalam bentuk contoh, pedoman, bimbingan orang lain atau teman yang lebih kompeten. Bentuk-bentuk pembelajaran kooperatif-kolaboratif serta belajar kontekstual sangat tepat digunakan. Sedangkan anak yang telah mampu belajar sendiri perlu ditingkatkan tuntutannya, sehingga tidak perlu menunggu anak yang berada dibawahnya. Dengan demikian diperlukan pemahaman yang tepat tentang karakteristik siswa dan budayanya sebagai pijakan dalam pembelajaran.

TEORI KECERDASAN GANDA

Pemikiran tentang pendidikan ketrampilan sudah lama dikemukakan. Ketrampilan bukan hanya sekedar ketrampilan bekerja apalagi ketrampilan untuk ketrampilan itu sendiri. Ketrampilan dalam maknanya yang luas diartikan sebagai ketrampilan demi kehidupan dan penghidupan yang bennartabat dan sejahtera lahir dan batin. Ketrampilan hidup inilah yang dalam praktek kependidikan perlu dimaknai dan diteijemahkan secara lebih rinci dan operasional agar dapat dilaksanakan dalam praktek pembelajaran di kelas.
Upaya melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pendidikan ketrampilan sangatlah diperlukan, karena banyaknya lulusan sekolah umum yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, serta daya serap ekonomi yang terbatas juga memerlukan tenaga¬tenaga terampil dan bermutu. Ketrampilan-ketrampilan yang bersifat kejuruan, intelektual, sosial, dan managerial, serta ketrampilan¬-ketrampilan yang berhubungan dengan tuntutan pasar (skill market) yang bervariasi sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, perlu dilatihkan pada anak.
Kecerdasan ganda yang dikemukakan oleh Gardner yang kemudian dikembangkan oleh para tokoh lain, terdiri dari kecerdasan verbal/bahasa, kecerdasan logika/matematik, kecerdasan visual/ruang, kecerdasan tubuh/gerak tubuh, kecerdasan musikal/ritmik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan eksistensial, perlu dilatihkan dalam rangka mengembangkan ketrampilan hidup. Semua kecerdasan ini sebagai satu kesatuan yang utuh dan terpadu. Komposisi keterpaduannya berbeda¬beda pada masing-masing orang dan pada masing-masing budaya, namun secara keseluruhan semua kecerdasan tersebut dapat diubah dan ditingkatkan. Kecerdasan yang paling menonjol akan mengontrol kecerdasan-kecerdasan lainnya dalam memecahkan masalah.
Para pakar kecerdasan sebelum Gardner cenderung memberikan tekanan terhadap kecerdasan hanya terbatas pada aspek kognitif, sehingga manusia telah tereduksi menjadi sekedar komponen kognitif. Gardner melakukan hal yang berbeda, ia memandang manusia tidak hanya sekedar komponen kognitif, namun suatu keseluruhan. Melalui teori kecerdasan ganda (multiple intelligences) ia berusaha menghindari adanya penghakiman terhadap manusia dari sudut pandang kecerdasan (inteligensi). Tidak ada manusia yang sangat cerdas dan tidak cerdas untuk seluruh aspek yang ada pada dirinya. Yang ada adalah ada manusia yang memiliki kecerdasan tinggi pada salah satu kecerdasan yang dimilikinya. Mungkin seseorang memiliki kecerdasan tinggi untuk kecerdasan logika-matematika tetapi tidak untuk kecerdasan musik atau kecerdasan body-kinestetik.
Strategi pembelajaran kecerdasan ganda bertujuan agar semua potensi anak dapat berkembang. Strategi dasar pembelajarannya dimulai dengan (1) membangunkan/memicu kecerdasan, (2) memperkuat kecerdasan, (3) mengajarkan dengan/untuk kecerdasan, dan (4) mentransfer kecerdasan. Sedangkan kegiatan-kegiatannya dapat dilakukan dengan cara menyediakan hari-hari karir, studi tour, biografi, pembelajaran terprogram, eksperimen, majalah dinding, papan display, membaca buku-buku untuk mengembangkan kecerdasan ganda, membuat tabel perkembangan kecerdasan ganda, atau human intelli¬gence hunt. Upaya memberdayakan siswa sendiri berupa self-monitoring dan konseling atau tutor sebaya akan sangat efektif untuk mengembangkan kecerdasan ganda. Upaya-upaya di atas jika dilakukan akan menjadikan siswa mampu membuat penilaian dan keputusan sendiri secara tepat, mandiri tidak bergantung pada orang lain, bertanggungjawab, percaya diri, kreatif, mampu berkolaborasi, dan dapat membedakan mana yang baik dan tidak baik. Kemampuan-kemampuan ini sangat dibutuhkan oleh manusia-manusia yang hidup di era ekonomi informasi abad global.
Dari sudut pandang teori humanistik, dasar-dasar teori kecerdasan ganda memang sangat humanis. Psikologi humanistik selalu memberi tekanan pada positive regards, acceptance, awareness, self-worth yang kesemuanya itu bermuara pada aktualisasi diri yang optimal. Psikologi humanistik menekankan pada personal growth, sesuai dengan arah dari teori kecerdasan ganda. Persoalannya adalah bagaimana menciptakan kondisi kelas bagi tumbuh kembangnya kecerdasan ganda pada diri para siswa, mengingat banyak orang mempersepsi bahwa kelas yang baik adalah kelas yang diam, teratur, tertib, dan taat pada guru. Kelas yang ramai selalu diterima sebagai kelas yang negatif, tidak teratur, walaupun mungkin ramainya kelas tersebut disebabkan karena siswa berdebat, berdiskusi, bereksplorasi, atau kegiatan-kegiatan positif lainnya. Guru-guru yang ada pun seringkali lebih suka pada kelas yang tertib, teratur, siswa-siswanya patuh dan tidak kritis. Pendidikan dan pembelajaran yang mendasarkan pada kecerdasan ganda membuka kesempatan pada para siswanya untuk kritis dan mungkin tidak patuh karena siswa menemukan kebenaran-kebenaran lain dari kebenaran yang dipegang oleh gurunya.
Amstrong dalam bukunya "Multiple Intelligences In The Class-room" memberikan alternatif-alternatif cara untuk memantau perkembangan kecerdasan siswa di kelas. Misalnya, apa yang dikerjakan siswa ketika mereka mempunyai waktu luang?, pembuatan catatan¬-catatan kecil yang praktis, cheklist tentang kecerdasan ganda, dokumen¬-dokumen, peringkat nilai, dan sebagainya. Masalahnya, sejauh mana para guru siap melakukannya? Bagaimana komitmen guru dan pengelola pendidikan lainnya dalam rangka mengembangkan sumber daya manusia Indonesia melalui para siswa di sekolah? Semua jawaban terpulang pada mereka yang terlibat dalam proses pendidikan dan pembelajaran.


Semua teori ini diambil dari Mr. Zainal Arifin, dosen PBA Tarbiyah UIN SUKA Yogyakarta.
Hoover, peneliti dari Texas University of Austin yang juga CEO pada Southwest Educational Development Laboratory menyatakan : Constructivism's central idea is that human learning is constructed, that learners build new knowledge upon the foundation of previous learning. This view of learning sharply contrasts with one in which learning is the passive transmission of information from one individual to another, a view in which reception, not construction, is key[1]. Ada dua hal penting disini berkenaan dengan pengetahuan yang dikonstruksi oleh pebelajar. Pertama adalah pebelajar membangun satu pengertian baru dengan menggunakan apa yang sudah mereka ketahui sebelumnya. Dalam hal ini tidak ada ‘tabula rasa’ dimana pengetahuan ‘digoreskan’. Pebelajar akan memasuki suasana pembelajaran dimana pengetahuan yang diterima akan dihubungkan dengan pengalaman yang sudah ada sebelumnya dan pengetahuan yang sudah dimiliki saat ini akan mempengaruhi penerimaan pengetahuan yang baru. Dalam hal ini, Ki Hadjar Dewantara dalam salah satu tulisannya mengungkapkan bahwa yang terjadi dalam diri anak adalah sesuai dengan “convergentie theorie”[2]. Teori ini mengajarkan bahwa seorang anak terlahir ibarat kertas yang sudah ada tulisannya, akan tetapi semua tulisan itu masih kabur atau suram. Tugas pemelajar adalah membantu anak untuk mempertebal tulisan-tulisan yang bersifat baik sehingga kelak dapat berubah menjadi ilmu yang berguna dan budi pekerti yang baik. Sedangkan tulisan yang sifatnya jelek harus dibiarkan agar bertambah suram atau bahkan “menghilang”. Ki Hadjar menentang teori Tabula rasa yang menganggap anak terlahir bagaikan kertas putih yang bisa ditulisi apa saja oleh pemelajar, atau teori aliran negatif yang menganggap anak lahir bagaikan kertas yang sudah penuh dengan tulisan yang tidak dapat diubah isinya.

Kedua adalah bahwa pembelajaran lebih bersifat aktif dan bukan pasif. Pebelajar akan memperbandingkan apa yang baru dipelajarinya dengan apa yang diketahuinya. Jika terdapat perbedaan, maka pembelajar akan mencoba mengakomodasikan apa yang baru dipelajari dengan memodifikasi pengetahuan yang sudah ada atau dimiliknya. Dalam proses ini akan terjadi proses pertimbangan oleh pebelajar yang akan diakhiri dengan proses modifikasi jika pengetahuan baru tersebut dapat diterima. Salah satu landasannya adalah teori Ketidak-sesuaian Kognitif dari Festinger (Cognitive Dissonance Theory)[3] . Teori ini dikemukakan oleh Festinger dalam bukunya yang berjudul A Theory of Cognitive Dissonance. Menurut teori Cognitive Dissonance ini, ada kecenderungan dalam diri seseorang untuk selalu melihat konsistensi antar kognisi yang dimilikinya (misalnya kepercayaan dan opini). Jika terdapat inkonsistensi atau terjadi ketidak-sesuaian antara sikap dengan prilaku (attitude and behavior), maka salah satu harus berubah untuk menghilangkan disonansi (ketidak-sesuaian) tersebut. Dalam hal ada perbedaan antara sikap dan prilaku, maka biasanya orang akan merubah sikap untuk mengakomodasi prilaku.
Ada dua faktor yang mempengaruhi tingkat ketidak-sesuaian tersebut, yaitu:
1. Jumlah disonansi keyakinan
2. Kepentingan yang ada dalam masing-masing keyakinan
Untuk menghilangkan ketidak-sesuaian tersebut, pada dasarnya ada tiga cara yang dapat dilakukan oleh seseorang, yaitu:
1. Mengurangi tingkat kepentingan dalam disonansi keyakinan
2. Menambah kesesuaian keyakinan melebihi disonansi keyakinan
3. Merubah disonansi keyakinan untuk menghilangkan inkonsistensi
Disonansi sering terjadi dalam keadaan dimana seseorang harus membuat pilihan antara dua tindakan atau keyakinan yang tidak saling bersesuaian. Disonansi terbesar terjadi jika kedua alternatif memiliki tingkat atraktif yang sama. Lebih jauh, perubahan sikap biasanya terjadi dalam arah yang memiliki insentif yang lebih sedikit karena hasilnya adalah disonansi yang lebih kecil. Disini teori ini memiliki pertentangan dengan teori prilaku umum yang menganggap perubahan prilaku terbesar akan kearah peningkatan insentif (misalnya , penguatan atau reinforcement).

Maddux, Cleborne D., Johnson, D. LaMont (et.al) dalam tulisannya mengenai teori konstruktivis yang dimuat di web site http://viking.coe.uh.edu membagi paham konstruktivis kedalam dua aliran, yaitu paham konstruktivis kognitif dan paham konstruktivis sosial (cognitive constructivism and social constructivism). Konstruktivis kognitif didasarkan pengembangan yang dibuat oleh ahli psikologi perkembangan Swiss, Piaget. Teori Piaget ini mengandung dua unsur pokok yaitu : umur dan tahap perkembangan. Melalui kedua unsur ini bisa diprediksi apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh seorang anak berdasarkan umurnya, serta teori perkembangan yang menjelaskan bagaimana seorang anak membangun kemampuan kognitivnya.

Menurut teori perkembangan kognitif Piaget, manusia tidak dapat ‘diberi’ informasi yang langsung dimengerti dan bisa digunakan. Manusia akan mengkonstruksikan pengetahuannya. Manusia akan membentuk pengetahuan berdasarkan pengalamannya. Pengalaman ini memungkinkan mereka membentuk skema – mental model dalam pikiran mereka. Skema ini berkembang, menjadi semakin luas dan semakin canggih melalui dua proses yang saling melengkapi yaitu asimilasi dan akomodasi[4]. Berdasarkan teori Piaget ini, ada dua hal yang penting berkenaan dengan proses pembelajaran yaitu :
1. Belajar adalah suatu proses aktif
2. Belajar haruslah menyeluruh, autentik, dan nyata.

Teori konstruktivis sosial dibangun berdasarkan pengembangan yang dibuat oleh Lev Vygotsky. Vygotsky menekankan pada lingkungan sosial yang ikut membantu perkembangan seorang anak. Bagi Vygotsky, budaya sangat berpengaruh sekali dalam membentuk struktur kognitiv anak. Yang membantu perkembangan anak bukan hanya guru, tetapi juga anak-anak yang lebih ‘dewasa’. Vygotsky mengemukakan konsep mengenai ‘zone of proximal development’. Dalam konsep ini, seorang anak dapat memahami suatu konsep dengan bantuan orang lain yang lebih dewasa – yang tidak dapat dilakukannya sendiri.

Ada empat prinsip dasar dalam penerapan teori Vygotsky dikelas[5] :
1. Belajar dan berkembang adalah aktivitas sosial dan kolaboratif
2. ZPD dapat menjadi pemandu dalam penyusunan kurikulum dan pelajaran
3. Pembelajaran disekolah harus dalam konteks yang bermakna, tidak boleh dipisahkan dari pengetahuan anak-anak yang dibangun dalam ‘dunia nyata’ mereka
4. Pengalaman anak diluar sekolah, harus dihubungkan dengan pengalaman mereka disekolah.


________________________________________
[1] Wesley A Hoover, The Practice Implications of Constructivism, www. Sedl.org, diakses Januari 2007.
[2] Ki Hadjar Dewantara, Dasar-dasar Pendidikan, dalam Karya Ki Hadjar Dewantara, p. 22-24, Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Jogjakarta, 1977
[3] http://carbon.cudenver.edu diakses Maret 2006
[4] ttp://web.psych.ualberta.ca/~mike/Pearl_Street/Dictionary/contents/A/adaptation.html
[5] http://viking.coe.uh.edu/~ichen/ebook/et-it/social.htm